Perjumpaan Terakhir

“If I stayed here, something inside me would be lost forever—something I couldn’t afford to lose. It was like a vague dream, a burning, unfulfilled desire. The kind of dream people have only when they’re seventeen.”

―Haruki Murakami, South of the Border, West of the Sun

Butuh waktu untuk menuliskan ini. Perpisahan adalah sebuah keniscayaan dari sebuah perjumpaan. Siap atau tidak, perpisahan akan menemuimu. Kapan pun ia mau. Aku hanya sedikit mengerti tentang perpisahan. Karena aku baru saja mengalaminya.

***

Rabu, 21 Desember 2016.

Aku nyaris lupa mesti menemuimu hari itu. Ingatanku masih buruk seperti dulu. Sesuatu yang teramat kau benci. Aku pernah lupa kapan ulangtahunmu, dan yang menurutmu paling parah adalah aku melupakan kapan kita sepakat untuk bersama. Kemarahanmu nyaris tidak bisa dibendung dengan apa pun ketika hal ini terjadi. Satu yang selalu menjadi konklusi atas kecerobohanku ini adalah aku tidak serius dalam hubungan ini. Tapi kau tak pernah serius soalan ini. Selama aku mengganti kecerobahanku itu dengan roti bolu isi cokelat atau pizza atau tacos saat kita berjumpa kau akan baik-baik saja. Pun hubungan kita.

“Aku gak bisa beneran marah, sih.” katamu, di sela-sela waktu menunggu tacos buatan kafe favorit kita tiba, dulu.

Aku selalu percaya padamu. Sepanjang ingatanku, kau hanya sekali benar-benar marah padaku, ketika aku lupa untuk membangunkanmu di hari pentingmu: ujian akhir semester perdanamu sebagai seorang mahasiswa. Aku memang ceroboh.

Ketika aku datang, kau sudah menempati bangku favorit kita. Aku terlambat. Ini adalah hal lain yang juga kau benci dariku. Sekalipun aku hanya kadang-kadang saja terlambat. Tampaknya hari itu kau tak akan mempermasalahkan keterlambatanku. Kau hanya tersenyum sesaat setelah aku menyapamu.

“Aku sehat dan aku bahagia!!” ujarmu setengah menjerit.

Aku bahkan belum berniat menanyakan hal itu. Ia tersenyum dan memintaku untuk duduk. Sore itu, ia terlihat lebih cantik daripada foto terakhirnya yang ia poskan di Facebook sebulan yang lalu, sebelum ia menghapusku dari pertemanannya di sana. Dan apa yang ia kenakan sore itu adalah baju pemberianku dulu. Aku bahagia dan tersenyum ketika menyadarinya. Aku tak perlu merasa menyesal masih menyimpan sedikit harapan dan masih memberinya ruang yang cukup luas di dalam hidupku.

“Udah kupesenin, ya!” ujarmu sambil tersenyum “aku yang traktir.” lanjutmu.

Senyuman yang masih sama seperti dulu. Aku ikut tersenyum.

Sembari menunggu pesanan datang, mau tak mau harus berbincang, karena tidak mungkin hanya saling memandangi tangan atau saling membuang muka. Jadi, banyak hal yang dibicarakan, dari perkara hobi hingga perkara serius: siapa pasanganku dan siapa pasangannya saat ini. Untuk yang terakhir ini, masing-masing tak ada yang mau menjawab. Aku? Sudah jelas tak memiliki seseorang yang spesial untuk saat ini. Dia? Aku tak yakin ia masih sendiri. Setidaknya begitu pikirku saat itu.

Sekitar 25 menit semenjak aku duduk, pesanan kami datang. Kamu menikmati makananmu dan aku menikmati makanan yang kamu pesankan. Tak ada perbincangan apapun. Masing-masing sibuk dengan makanan yang harus segera dinikmati.

“Nu…” panggilmu pelan, memecah kebisuan.

Aku masih menyeruput minumanku saat aku mencoba merespon panggilanmu.

“Maaf ya, saya dulu ngilang gitu aja…” ujarmu sedikit tercekat, “aku bingung banget waktu itu” lanjutmu.

Aku tak ingin memberi jawaban apapun, yang kulakukan hanya membuat lingkaran dari sisa saos sambal yang ada di piringku. Aku ragu untuk sekadar memberi jawaban. Rasanya seperti ketika luka goresan akibat kecerobohanmu ditetesi air garam. Aku hanya menunduk setelahnya.

“Aku pengen nyelesain semua urusan kita yang belum kelar, sebelum aku nikah,” … “NU!”

Aku tersentak. Kemudian aku berdiri dan memilih untuk pergi. Sebelum aku benar-benar pergi, aku mengatakan apa yang selama ini ingin kusampaikan, “Tha, ini yang terakhir. Aku pikir semua udah selesai. Gak ada yang perlu dibahas lagi. Paling gak kita udah bisa ngasih damai ke diri kita masing-masing. Jadi, gak perlu minta maaf.”

Aku berjalan pelan meninggalkan kafe yang pernah memberiku bahagia dengan senyum lega, yang entah darimana itu berasal.

***

Mari bersiap untuk patah hati, lagi.

Leave a comment